
1.
Mengenai
Suku Gayo
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran
tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Berdasarkan sensus 2010 jumlah suku Gayo yang mendiami
provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa. Wilayah tradisional suku Gayo
meliputi kabupaten Bener
Meriah, Aceh
Tengah dan Gayo
Lues. Selain itu suku
Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh
Timur.
2.
Bahasa
Suku Gayo
Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai
bahasa sehari-hari oleh suku Gayo. Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan dengan
bahasa Suku Karo di Sumatera Utara.
Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest
Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.
Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa
Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di Lokop,
sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan
Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih
dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang,
sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara.
Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena
interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas
Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dialek pada suku Gayo, menurut M.J. Melalatoa,
dialek Gayo Lut terdiri dari subdialek Gayo Lut dan Deret, sedangkan Bukit dan
Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari
subdialek Gayo Lues dan Serbejadi. Subdialek Serbejadi sendiri meliputi
sub-subdialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut
jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut,
Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues,
Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat
berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan
dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, (memanggil seseorang)
dengan panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata krama, sopan santun dan
rasa hormat. Pemakaian ko dan kam,
yang keduanya berarti kamu (anda). Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua
dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan
dengan ko. Bahasa Gayo Lut
dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
3.
Marga Suku Gayo
Walaupun sebagian besar
masyarakat suku Gayo tidak mencantumkan nama marganya, tetapi sebagian kecil
masih ada yang menabalkan atau mencantumkan nama marga-marganya, terutama yang
bermukim di wilayah Bebesen.Sebenarnya marga itu hanya untuk mengetahui asal/Garis
keturunan Individu itu sendiri, makanya di suku gayo marga tidak terlalu di
pentingkan.Berikut daftar marga-marga pada suku Gayo:
- Ariga
- Cibero
- Linge
- Melala
- Munte
- Tebe
- Alga
Marga uken
-Bukit
-Bukit eweh
-Bukit lah
- Jongok
- Gunung
- Kala
4.
Sejarah
Suku Gayo
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan
oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan Berdaulat
Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari
keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari
Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa
sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua
seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali
Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka
negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara
ke Aceh Besar dan
mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal
dengan Lamuri atau Kesultanan
Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah
Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya
menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan
menjadi pegawai Kesultanan Daya di
Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh
di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati
oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat
dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga
membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Lingga
1. Adi Genali Raja Linge I di Gayo
1. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi
Raja Karo
2. Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
3. Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri
Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb
Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia
yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat
menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan
Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau
(Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era
Belanda kembali diangkat raja-rajanya tetapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga
5. Kehidupan Sosial Suku Gayo
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti
kecil yang disebut kampong.
Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik.
Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman,
yang dipimpin oleh mukim.
Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).
Pada masa sekarang beberapa
buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan
terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang
mewakili rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa
kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu belah
merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan
hubungan tetap dalam berbagai upacara adat.
Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku
berdasarkan tradisi adalah eksogami belah,
dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa
keluarga inti disebut sara
dapur. Pada masa lalu beberapa sara
dapur tinggal bersama dalam
sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara
umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak
keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata
pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit.
Selain itu ada penduduk yang berkebun,
menangkap ikan,
dan meramu hasil hutan.
Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata
pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman Kopi Gayo. Kerajinan membuat keramik dan
anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai
salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan
lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan
membuat sulaman kerawang dengan
motif yang khas.
6. Seni Budaya Suku Gayo
Suatu unsur budaya yang
tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir
tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian
Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan
seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi,
bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan,
sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial
masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari
Guel, tari Munalu, Sebuku
/Pepongoten (seni meratap
dalam bentuk prosa), guru
didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo
memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku
untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu).
Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan
yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel).
Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang
ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai
tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh
masyarakat Gayo.
7. Seni dan Tari Suku Gayo
- Didong
- Didong
Niet
- Tari
Saman
- Tari
Bines
- Tari
Guel
- Tari
Munalu
- Tari
Sining
- Tari
Turun ku Aih Aunen
- Tari
Resam Berume
- Tuah
Kukur
- Melengkan
- Dabus
8. Makanan Khas Suku Gayo
- Masam
Jaeng
- Gutel
- Lepat
- Pulut
Bekuah
- Cecah
- Pengat
- Gegaloh
Komentar
Posting Komentar